Apa Itu Diversi Menurut SPPA? Pengertian, Syarat dan Tujuan

    Apa Itu Diversi Menurut SPPA? Pengertian, Syarat dan Tujuan
    Apa Itu Diversi Menurut SPPA? Pengertian, Syarat dan Tujuan

    Nusakambangan - Dalam kesempatan yang berbahagia ini Pembimbing Kemasyarakatan Bapas kelas II Nusakambangan akan berusaha menjelaskan tentang Diversi yang saat ini banyak dilaksanakan Oleh Pembimbing Kemasyarakatan dalam menyelasaikan perkara anak yang ancaman hukumannya di bawah 7 (tujuh) tahun, Sabtu (03/12/2022).
    Diversi adalah pengalihan proses pada sistem penyelesaian perkara anak yang panjang dan sangat kaku. Mediasi atau dialog atau musyawarah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam diversi untuk mencapai keadilan restorative.
    Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak (selanjutnya disebut UU Peradilan Anak) menyatakan bahwa diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara pidana ke proses diluar peradilan pidana. Pasal 6 UU Peradilan Anak menyebutkan bahwa tujuan diversi yaitu :
    mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
    menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
    menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
    mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
    menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
    Terhadap anak yang diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun menurut hukum pidana dan bukan pengulangan tindak pidana wajib diupayakan diversi pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara sebagaimana ketentuan dalam Pasal 7 UU Peradilan Anak. Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif sebagaimana ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) UU Peradilan Anak. Keadilan restoratif yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) UU Peradilan Anak yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 6 UU Peradilan Anak.
    Pada dasarmya ketentuan beracara dalam peradilan pidana anak berlaku hukum acara pada umumnya kecuali yang ditentukan lain dalam UU Peradilan Anak sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 16 UU Peradilan Anak. Hal yang membedakan diantara keduanya yaitu adanya upaya diversi terhadap anak pelaku tindak pidana. Pelaksanaan diversi dilaksanak dengan cara musyawarah sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU Peradilan Anak. Diversi yang dilakukan dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara harus mempertimbangkan hal-hal sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU Peradilan Anak, yaitu :
    kategori tindak pidana;
    umur anak;
    hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan
    dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
    Selain itu, Pasal 8 ayat (3) UU Peradilan Anak juga menyatakan bahwa dalam proses upaya diversi juga wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

    kepentingan korban;
    kesejahteraan dan tanggung jawab Anak;
    penghindaran stigma negatif;
    penghindaran pembalasan;
    keharmonisan masyarakat; dan
    kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
    Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali untuk tindak pidana sebagaimana ketentuan dalam Pasal 9 ayat (2) UU Peradilan Anak, diantaranya yaitu :

    tindak pidana yang berupa pelanggaran;
    tindak pidana ringan;
    tindak pidana tanpa korban; atau
    nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.
    Terhadap tindak pidana sebagaimana ketentuan dalam Pasal 9 ayat (2) UU Peradilan Anak tersebut dapat dilakukan oleh penyidik bersama pelaku dan/atau keluarganya, pembimbing kemasyarakatan serta dapat melibatkan tokoh masyarakat sebagaimana ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) UU Peradilan Anak. Kesepakatan diversi terhadap tindak pidana yang dinyatakan dalam Pasal 9 ayat (2) UU Peradilan Anak dapat berupa hal-hal sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU Peradilan anak berdasarkan atas rekomendasi pembimbing kemasyarakatan diantaranya :

    pengembalian kerugian dalam hal ada korban;
    rehabilitasi medis dan psikososial;
    penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
    keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
    pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.
    Pasal 11 UU Peradilan Anak menyebutkan bahwa hasil kesepakatan disversi dapat berbentuk hal-hal sebagai berikut :

    perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
    penyerahan kembali kepada orang tua/wali;
    keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
    pelayanan masyarakat.
    Hasil kesepaktan dituangkan dalam bentuk kesepakatan diversi sebagaimana ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1) UU Peradilan Anak. Hasil kesepakatan diversi disampaikan oleh atasan langsung pejabat yang bertanggungjawab disetiap tingkat pemeriksaan ke pengadilan negeri sesuai dengan daerah hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak kesepakatan dicapai untuk memperoleh penetapan. Penetapan dilakukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak diterimanya kesepakatan diversi. Kemudian penetapan disampaikan kepada pembimbing kemasyarakatan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan. Setelah menerima penetapan, penyidik menerbitkan penetapan penghentian penyidikan atau penuntut umum menerbitkan penghentian penuntutan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 12 ayat (5) UU Peradilan Anak. Apabila diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan, mak proses peradilan anak dilanjutkan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 13 UU Peradilan Anak. Apabila penyidik, penuntut umum, dan hakim dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban untuk upaya diversi, maka penyidik, penuntut umum dan hakim dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana ketentuan dalam Pasal 96 UU Peradilan Anak yang menyatakan sebagai berikut :

    “Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000, 00 (dua ratus juta rupiah).”

    nusakambangan
    Rifki Maulana

    Rifki Maulana

    Artikel Sebelumnya

    Laksanakan Litmas, Pembimbing Kemasyarakatan...

    Artikel Berikutnya

    Hendri Kampai: Macan Versus Banteng di Antara...

    Berita terkait