RUU KUHAP Disorot dalam Seminar Nasional USK, Tuntutan Partisipasi Publik dan Transparansi Proses Legislasi Mengemuka

    RUU KUHAP Disorot dalam Seminar Nasional USK, Tuntutan Partisipasi Publik dan Transparansi Proses Legislasi Mengemuka

    BANDA ACEH – Upaya reformasi hukum acara pidana di Indonesia kembali menjadi sorotan dalam Seminar Nasional yang digelar oleh Pusat Riset Ilmu Kepolisian Universitas Syiah Kuala (USK), Kamis, 17 April 2025. Bertempat di Aula Moot Court Fakultas Hukum USK, seminar ini mengangkat tema “Rancangan Undang-Undang KUHAP yang Partisipatif, Kolaboratif, dan Transparan dalam Mewujudkan Hukum yang Berkeadilan”, sejalan dengan proses pembahasan intensif RUU KUHAP oleh pemerintah dan DPR.

    Kegiatan ini dihadiri oleh seratus peserta dari berbagai kalangan—akademisi, praktisi hukum, aparat kepolisian, kejaksaan, mahasiswa, hingga media dan tokoh masyarakat—yang secara aktif mengikuti jalannya diskusi dan sesi tanya jawab. Seminar tersebut menghadirkan empat narasumber terkemuka, yaitu mantan Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif, Guru Besar FH USK Prof. Dr. Rizanizarli, akademisi dari Universitas Sumatera Utara Dr. Alpi Sahari, dan Sekretaris DPC Peradi Aceh Dr. Syahrul Rizal.

    Dalam paparannya, para narasumber mengungkapkan sejumlah isu krusial dalam draf RUU KUHAP yang tengah digodok. Di antaranya adalah kewenangan baru penyidik untuk memperpanjang masa penahanan dari 20 menjadi 40 hari, pemberian peran saksi mahkota kepada tersangka dengan peran ringan, serta pelaksanaan penyidikan tanpa pemberitahuan awal kepada jaksa. Tak kalah penting, seminar ini juga menyoroti lemahnya mekanisme perlindungan terhadap saksi, terutama dalam kasus yang melibatkan kekerasan oleh aparat.

    Salah satu isu yang banyak menuai perhatian adalah ketentuan yang memperbolehkan Kejaksaan mempertanyakan keabsahan proses penangkapan dan penahanan oleh Kepolisian, serta kewenangan Kepolisian untuk melakukan penangkapan lebih dari satu hari dalam kondisi tertentu—yang oleh sebagian pihak dianggap membuka peluang penyalahgunaan wewenang.

    Dalam sambutannya, Laode M. Syarif menyampaikan bahwa RUU KUHAP yang disusun pemerintah memiliki dua sisi: peluang untuk modernisasi hukum, dan ancaman jika drafnya tidak disusun secara partisipatif. Ia mengingatkan bahwa revisi ini tidak boleh menjadi alat legal untuk kriminalisasi atau intimidasi. “Negara hukum harus dibangun atas prinsip transparansi dan akuntabilitas, bukan rasa takut, ” tegas Laode.

    Sementara itu, Dr. Alpi Sahari menyoroti kesalahan dalam memahami prinsip Dominus Litis. Ia menegaskan bahwa prinsip ini seharusnya tidak berarti pemisahan kewenangan jaksa, melainkan pembagian dalam kerangka sistem peradilan pidana yang terintegrasi. Ia mengkritisi kecenderungan untuk kembali pada pola hukum kolonial seperti Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR), yang dinilai tidak sesuai lagi dengan semangat hukum nasional.

    Pandangan serupa disampaikan oleh Prof. Dr. Rizanizarli yang menekankan pentingnya pembatasan kekuasaan lembaga penegak hukum agar tidak terjadi dominasi oleh satu institusi. Ia berharap adanya sistem check and balance yang jelas dalam pelaksanaan KUHAP yang baru.

    Sementara itu, Dr. Syahrul Rizal menyoroti pentingnya perlindungan terhadap advokat dalam menjalankan tugasnya. Menurutnya, meski RUU KUHAP memuat pasal yang melindungi advokat dari tuntutan pidana atau perdata selama bertindak dengan itikad baik, ketiadaan definisi “itikad baik” dapat menimbulkan multitafsir dan justru berpotensi menjadi pasal karet.

    Diskusi pun mengemuka dalam sesi tanya jawab. Sejumlah peserta mendorong agar RUU KUHAP dibuka untuk uji publik secara luas, terutama di daerah-daerah yang selama ini mengalami ketimpangan hukum. “RUU ini bukan hanya urusan Jakarta. Kami yang di daerah juga perlu didengar, ” ujar salah satu peserta dari LSM lokal.

    Menanggapi seluruh isu yang muncul, para narasumber sepakat bahwa RUU KUHAP memerlukan penyusunan yang lebih hati-hati, dengan memperhatikan koordinasi dan pengawasan antarlembaga penegak hukum. Mereka menegaskan bahwa jika tidak dirancang dengan prinsip transparansi, partisipasi, dan kolaborasi, RUU KUHAP berisiko menjadi alat represi, bukan sarana keadilan.

    Sebagai penutup, seminar ini menggarisbawahi bahwa revisi KUHAP harus menjadi tonggak pembaruan hukum acara pidana yang berpihak pada keadilan sosial dan hak asasi manusia, serta meninggalkan warisan hukum kolonial yang sudah tidak relevan. RUU KUHAP tidak boleh hanya menjadi sekumpulan pasal, tetapi harus menjadi pondasi kokoh bagi sistem peradilan pidana Indonesia yang adil, humanis, dan akuntabel.

    ruu kuhap usk
    Updates.

    Updates.

    Artikel Sebelumnya

    Fungsi dan Wewenang DPR RI

    Artikel Berikutnya

    Bakamla RI Ikuti Press Conference atas Tangkapan...

    Berita terkait